Rumah Pohon Tertinggi Milik Suku Korowai Papua
TAICHING: Hampir tak terjamah, Suku Korowai merupakan
salah satu suku yang ada di pedalaman Papua. Mereka hidup di atas rumah pohon
dengan ketinggian mencapai 50 meter dari permukaan tanah.
Korowai, nama suku yang berada di pedalaman Papua Barat,
dekat dengan perbatasan Papua Nugini, tepatnya di Kabupaten Mappi. Sampai tahun
1970an mereka sama sekali tidak mengetahui keberadaan manusia selain dari
kelompok mereka sendiri. Hingga di tahun 1974 akhirnya mereka ditemukan oleh sekelompok
ilmuwan yang tidak sengaja memasuki area suku tersebut. Suku Korowai memiliki
jumlah populasi kurang lebih 3.000 orang. Uniknya, suku ini merupakan salah
satu kelompok di daratan Papua yang tidak menggunakan koteka.
Suku Korowai hidup dalam kondisi terisolasi dari dunia luar.
Mereka membangun rumah pohon yang dinamai Rumah Tinggi. Rumah mereka memang
begitu tinggi, saking tingginya bisa mencapai 35-50 meter di atas permukaan
tanah. Bukan tanpa alasan mereka membangun rumah yang begitu tinggi. Karena
mereka hidup di dalam hutan tropis, mereka percaya bahwa semakin tinggi mereka
membangun rumah, maka mereka akan terhindar dari gigitan nyamuk. Rumah tersebut
juga menghindari mereka dari ancaman binatang buas lainnya.
Beredar mitos bahwa alasan utama Suku Korowai membangun
rumah setinggi itu sebenarnya adalah mereka ingin menghindari roh-roh jahat.
Mereka takut terhadap serangan ‘laleo’ atau iblis yang kejam. Laleo adalah
makhluk yang berjalan seperti mayat hidup dan berekeliaran pada malam hari.
Sebutan iblis atau laleo tersebut ditujukan kepada semua orang asing selain
penduduk mereka, bahkan termasuk orang-orang Papua lainnya.
Terlepas dari segala alasan tersebut, suku Korowai begitu
menghargai nenek moyangnya. Oleh karena itu, mereka juga menganggap bahwa rumah
tinggi merupakan warisan leluhur, sehingga mereka merasa nyaman tinggal di
sana, meski harus bersusah payah memanjat pohon yang begitu tinggi.
Rumah pohon yang begitu tinggi secara logika tentu tidak
normal. Suatu saat angin bisa saja berhembus kencang dan dengan cepat dapat
menghancurkan rumah tersebut. Karenanya, Suku Korowai tidak sembarangan dalam
memilih pohon. Mereka memilih pohon-pohon yang besar nan kokoh sebagai pondasi
rumahnya. Pucuk pohon tersebut digunduli untuk kemudian dibangunlah rumah
mereka.
Semua bahan dibuat menggunakan bahan dari alam dan proses
pembuatan rumah pohon menggunakan tangan, tanpa bantuan alat modern apapun.
Kerangka rumah pohon terbuat dari batang-batang kayu kecil, sedangkan lantainya
menggunakan cabang pohon. Sedangkan untuk dinding dan atap rumah, mereka
menggunakan kulit pohon sagu dan daun hutan. Setelah itu semua bahan tersebut
diikat menggunakan tali.
Rata-rata rumah pohon Suku Korawai memiliki ukuran sekitar
tujuh kali sepuluh meter. Rumah pohon dengan ukuran lebih besar memiliki
penyekat ruang dan pintu berbentuk runcing dimasing-masing ujung. Ada satu
pintu untuk penghuni pria, dan pintu lainnya untuk wanita. Di rumah pohon Suku
Korawai juga terdapat sebuah perapian yang terbuat dari tanah liat yang
digantungkan di atas ruang terbuka, sehingga perapian tersebut mudah dipotong
dan dibuang jika bara api tidak terkendali. Hal tersebut menghindari kerusakan
rumah mereka.
Biasanya, sebuah rumah pohon dapat memakan waktu hingga
tujuh hari. Suku Korawai masih memegang teguh adat istiadat leluhurnya.
Sehingga, sebelum mereka mendirikan sebuah rumah, mereka akan melalukan ritual
malam terlebih dahulu untuk mengusir roh jahat. Karena hanya menggunakan bahan
alami, konstruksi rumah pohon Suku Korawai hanya bertahan hingga tiga tahun
lamanya.
Setiap bidang tanah yang telah bersih terdapat dua hingga
tiga rumah pohon. Tak hanya hidup bersama dalam satu keluarga, satu rumah pohon
juga kerap diisi hewan peliharaan mereka seperti babi dan anjing hutan. Menurut
mereka, babi memiliki nilai sosial, babi hanya dibunuh saat ada ritual dan
acara khusus saja, sedangkan anjing digunakan untuk berburu. Satu rumah pohon
besar dihuni hingga sepuluh orang atau lebih. Untuk naik ke rumah pohon, Suku
Korowai harus menaiki tangga yang terbuat dari ranting dan tali.
Kehidupan yang
seimbang
Suku Korowai memiliki kehidupan yang begitu seimbang. Mereka
begitu menjaga hubungannya dengan sesama manusia dan alam. Selain itu, mereka
juga menjaga baik hubungannya dengan dunia roh, karena mereka percaya bahwa
semesta ini dipenuhi dengan makhluk spiritual yang berbahaya bagi kelangsungan
hidup mereka.
Seorang akademisi dari Kampus Institut Seni Budaya Indonesia
Tanah Papua, Rhidian Yasminta melakukan riset tentang Suku Korowai sejak tahun
2016. Menurutnya, Suku Korowai begitu menjunjung tinggi nilai-nilai kesetaraan
dalam sebuah hubungan sesama manusia. Begitu setaranya, menjadikan mereka hidup
tanpa ada strata sosial seperti kepala suku atau panglima perang.
Dalam kehidupan sehari-hari, kegiatan seorang laki-laki dan
perempuan sama saja. Misalnya di sebuah rumah tangga, mereka hampir tidak
membagi pekerjaan berdasarkan gender. Jadi, semua kegiatan mereka lakukan
secara bersama-sama. Namun, dalam kebudayaan mereka hanya pada hal yang sangat
prinsip dan tidak bisa diubah-ubah dan harus dilakukan sesuai gender, yaitu
mengandung, melahirkan, dan menyusui yang hanya bisa dilakukan perempuan.
Selain itu, suku Korowai melihat dari bagaimana posisi
seorang wanita, terutama jika ibu mertua dari garis perempuan yang sangat
dihormati. Sehingga, seorang anak menantu laki-laki harus menjaga tata karma,
yaitu tidak boleh menatap wajah mertua perempuannya secara langsung.
Walaupun Suku Korowai berada di pedalaman dan terasing,
namun rumah pohon yang mereka bangun menjadi bukti kecerdasan mereka. Suku
Korowai juga memiliki kebudayaan yang begitu murni, sehingga dapat diteladani
tentang hubungan mereka sesama manusia, maupun dengan alam, yang begitu
seimbang. (T-1)
Terbit di: https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/rumah-pohon-tertinggi-milik-suku-korowai-papua
Comments
Post a Comment